PUTRA- Perubatan Tenaga Rohaniah, Tenaga Alam Semulajadi, Tradisional Melayu Islam. PSSGMM- Persatuan Seni Silat Gayong Ma'arifat Malaysia "GAYONG MA'ARIFAT BUKAN SEKADAR SILAT" "BUKAN SILAT BIASA"
4/17/2012
Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama
Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama dan Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara Husnul Khatimah Dengan Su`ul Khatimah)
A. Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah telah bersabda:
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”
Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim dalam Kitabul Qadar (no. 2658).
Dari sekian nikmat Allah yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi anak yang baik lagi beragama.
Allah menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah Allah agungkan hak kedua orangtua atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua orangtuanya). Allah berfirman:
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
Adakah harapan dan dambaan serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman, jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah:
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia berkata: ‘Wahai Rabbku, dari mana ini?’ Maka Allah berfirman: ‘Dengan sebab istighfar (permintaan ampun) anakmu untukmu’.” (HR. Ahmad)
Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan lafadz:
“Dengan sebab doa anakmu untukmu.” (Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)
Memang tidak semua anak yang lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di manakah dia berada?
Makna dan Faedah Hadits
Lafadz :
“Tidaklah setiap anak yang lahir”
Pada riwayat lain: “setiap yang dilahirkan (bayi)”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Yaitu dari bani Adam, seperti yang tersebut dalam riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah dari Al-A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Demikian pula Khalid Al-Wasithi meriwayatkan dengan lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abu Zinad dari Al-A’raj. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid.
Sekilas, riwayat ini mengandung kejanggalan, karena berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada yang menjadi Yahudi atau yang lain seperti tersebut dalam hadits. Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan itu tetap menjadi seorang muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan). Jawabnya adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan bawaan diri sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena adanya sebab dari luar. Jika seorang bayi selamat dari sebab luar yang mempengaruhinya, ia akan terus berada pada kebenaran (fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang benar dalam mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits, dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari jalan Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-’Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya Abdurrahman bin Ya’qub, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”
Lafadz :
“Dilahirkan dalam kedaan fitrah.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Yang nampak bahwa sifat ini umum pada seluruh anak yang dilahirkan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat sebelumnya (dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359), dari jalan Yunus bin Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz :
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23) dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Ibnu Abdil Bar menghikayatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi keumuman (meliputi setiap bayi). Namun maksud dari hadits ini adalah, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan ia memiliki kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada agama selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits ini ialah: Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, sedangkan kedua orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah menjadikan anaknya Yahudi. Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi dengan apa yang sesuai padanya.
Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah:
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Al-Fath, 3/303)
Lafadz :
“Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari jalan Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Menjadikannya seorang musyrik.”
Riwayat ini juga terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya Ath-Thahawi. Dalam kitab yang sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan riwayat dari jalan Suhail, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Menjadikannya seorang kafir.”
Ath-Thibi berkata: “(Huruf) fa` pada kalimat ini bisa sebagai at-ta’qib (mengikuti) sababiyyah (sebab) atau jaza` syarth muqaddar (jawaban dari kata kerja/fi’l syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila (setiap anak yang lahir) telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam), kemudian terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan (ajakan) orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya mengikuti agama orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu seperti hukum kedua orangtuanya.”
________________________
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini
Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits yang mulia berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya-lah yang akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Majusi atau Nasrani.” Dan hadits lain berbunyi: “Setiap jiwa yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah ia celaka ataukah bahagia.” Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa perbedaan antara kedua hadits ini?
Jawabannya:
Pertama, hadits yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya perubahan (buntung)?”
Makna hadits ini adalah bahwa setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam), namun perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk tetap senantiasa berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah Allah tetapkan keadaannya sebagai orang yang beruntung (Islam), Allah akan mempersiapkan baginya seorang yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan menjadilah anak itu siap untuk melakukan kebaikan. Barangsiapa yang Allah telantarkan dan tetapkan sebagai orang yang celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam mengubah anaknya (yang berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kedua, dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah telah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan: -Al-Hadits-. Makna ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal itu merupakan ketetapan yang azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir hidup seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah yang telah mendahuluinya.
Ketiga, dengan menelaah makna hadits yang pertama dan kedua di atas serta memerhatikan pertanyaan yang diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Karena sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah yang baik. Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah. Allah akan mempersiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, jika keberadaanya sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah juga akan mendatangkan baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari jalan kebaikan, menemani dan mengajaknya pada jalan keburukan, dan selalu menyertainya hingga ditetapkan baginya akhir hidup yang buruk.
Telah banyak dalil yang menyebutkan adanya ketetapan Allah yang mendahului sebelum penciptaan manusia, baik kebahagiaan atau keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib, dari Nabi, beliau bersabda: “Tidaklah setiap jiwa yang ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang yang ditetapkan bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.” Kemudian beliau membaca firman Allah:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).”
Hadits di atas menerangkan bahwa celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah. Dan hal itu ditentukan sesuai dengan amal perbuatan. Setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan amal perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan baginya, yang mana hal tersebut akan menjadi sebab dia bahagia atau celaka.
Wabillahi taufiq. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beserta sahabat beliau seluruhnya.
________________________
Walaupun setiap anak lahir akan berada pada fitrahnya, namun orangtua memiliki peran yang besar. Ibnul Qayyim berkata: “Sebagian ulama berkata: ‘Sesungguhnya Allah akan menanyakan tanggung jawab orangtua atas (pendidikan) anak, sebelum menanyakan kepada anak atas baktinya kepada orangtua. Karena, sebagaimana orangtua memiliki hak atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada orangtuanya), anak juga memiliki hak atas orangtuanya (berupa kewajiban yang harus ditunaikan oleh orangtua kepada anak). Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Oleh karena itu, orangtua hendaknya mencurahkan tenaga dan upaya untuk mendidik anak-anaknya. Hidayah (petunjuk) itu berada di tangan Allah. Manusia tidak akan mampu memberi hidayah kepada dirinya sendiri, terlebih lagi memberi hidayah kepada orang lain.
Inilah Nuh, salah seorang nabi Allah. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Beliau berharap sangat agar anaknya ikut bersamanya dan bukan bersama orang-orang kafir, sebagaimana Allah berfirman:
“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah saja yang Maha Penyayang.’ Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 42-43)
Seorang salaf yang bernama Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata: “Telah lahir anakku lalu aku beri nama Sa’d (kebahagiaan). Namun ia tidak bahagia dan tidak pula beruntung.” Beliau pernah berkata kepada anaknya: “Pergilah engkau (belajar) kepada Hisyam Ad-Dustuwa`i.” Anak itu menyahut: “Saya ingin melepas burung merpati.”
Demikian pula penuturan Isma’il bin Ibrahim bin Miqsam, seorang lelaki yang shalih. Di antara anak-anaknya ada yang bernama Ibrahim, namun ia menjadi seorang yang berpemikiran Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shofwan, yang memiliki aqidah menolak nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya) dan berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah mahkluk.
Hidayah berada di tangan Allah. Namun seorang hamba harus menempuh sebab. Jika Allah menghendaki kebaikan kepadanya (anak), tentulah dia akan tunduk kepada nasihat. Namun jika Dia menghendaki lain, maka ia akan berada di atas kebatilan. Seorang penyair berkata:
“Jika perangai itu adalah perangai yang jelek
Maka tidak ada pendidikan maupun pendidik yang berguna”
(Sebagian dinukil dari Nashihati lin Nisa`, hal.75-76, cet. Darul Haramain)
Tiada permohonan yang pantas kecuali meniru apa yang telah diucapkan oleh orang-orang shalih kepada Rabb mereka dalam doanya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: ringkasan artikel dari www.asysyariah.com
B. Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara Husnul Khatimah Dengan Su`ul Khatimah)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau adalah seorang yang benar lagi dibenarkan:
“Bahwa penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal): Tentang rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia, kemudian Allah meniupkan ruh padanya. Sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya ia masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga dia memasukinya.” (HR. Al-Bukhari no. 3332)
Hadits ini dijelaskan oleh hadits berikut
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, padahal dia sebenarnya adalah penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, padahal dia sebenarnya adalah penghuni surga. Sungguh setiap amalan itu dihitung dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6012)
Dari Jabir radhiallahu anhuma dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap hamba dibangkitkan sesuai dengan kondisi saat ia meninggal.” (HR. Muslim no. 2878)
Penjelasan ringkas:
Hadits-hadits di atas di satu sisi merupakan kabar buruk dan di sisi lain merupakan kabar yang baik. Kabar buruk bagi siapa yang sudah terbiasa melakukan kejelekan dan kabar baik bagi siapa yang sudah terbiasa melakukan kebaikan. Karena sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan biasanya sulit untuk ditinggalkan dan akan selalu dia amalkan apapun yang terjadi. Karenanya, orang yang sudah terbiasa mengamalkan amalan jelek maka kemungkinan besar dia akan dihukum oleh Allah dengan su`ul khatimah atau meninggal di atas kejelekan, dan ini termasuk siksaan Allah yang terbesar di muka bumi ini. Sebaliknya, siapa saja yang sudah terbiasa melakukan suatu kebaikan maka besar kemungkinan dia juga akan mengakhiri hidupnya di atas kebaikan. Dan Allah Ta’ala akan membangkitkan setiap orang sesuai dengan keadaan ketika dia meninggal.
Inilah hukum asalnya. Adapun hadits Abdullah bin Mas’ud di atas, maka dia termasuk hadits-hadits dalam masalah takdir yang wajib diterima dan dibenarkan, walaupun akal tidak bisa mencernanya karena kurangnya ilmu dan akal manusia. Yang jelas kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia tidak akan memasukkan ke dalam neraka orang yang tidak pantas masuk neraka dan tidak akan memasukkan ke dalam surga orang yang tidak pantas masuk ke dalam surga. Dan Dia lebih mengetahui siapa di antara hamba-hambaNya yang bersyukur kepada-Nya. Ini jawaban secara global.
Adapun secara rinci, maka diterangkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad di atas, yaitu bahwa amalan baik yang diamalkan oleh penghuni neraka itu hanya lahiriahnya saja yang baik, akan tetapi hati orang tersebut bertentangan dengan amalannya, dimana kejelekan hatinya ini tidak diketahui oleh orang lain. Dan kejelekan hatinya inilah yang kemudian mendominasi dirinya, dan kejelekan hatinya ini muncul di akhir umurnya dengan dia melakukan kejelekan, sehingga dia akhirnya meninggal dengan su`ul khatimah. Sebaliknya, seorang penghuni surga terkadang melakukan banyak kejelekan akan tetapi sebenarnya di dalam hatinya ada suatu sifat kebaikan yang tidak diketahui oleh orang lain. Kemudian, sifat baik ini mendominasi dirinya dan baru muncul buahnya di akhir hidupnya dengan dia berbuat kebaikan. Sehingga dia akhirnya meninggal dengan husnul khatimah. (Iqazh Al-Himam Al-Muntaqa min Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam hal. 94)
Intinya seorang muslim wajib beriman kepada takdir dan tidak larut mempertanyakan atau memperbincangkan takdir. Karena takdir adalah rahasia Allah dimana tidak ada seorangpun makhluk yang mengetahuinya. Dan sudah dimaklumi bersama bahwa membicarakan sesuatu yang tidak diketahui adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak akan menghasilkan kebaikan apa-apa.
Pelajaran penting lainnya dari hadits-hadits di atas adalah bahwa seorang pelaku maksiat tidak boleh berputus asa dengan banyaknya dosa yang telah dia perbuat. Karena sebesar apapun dosanya, yang menjadi penentu nasibnya di akhirat adalah amalan yang dia amalkan di akhir hidupnya. Dan sebaliknya setiap pelaku kebaikan tidak boleh bangga dan tertipu dengan banyaknya pahala yang telah dia dapatkan. Karena nasibnya di akhirat tidak ditentukan oleh pahala yang sudah dia kumpulkan, akan tetapi ditentrukan oleh amalan yang dia kerjakan di akhir umurnya. Maka dengan beriman kepada takdir dengan keimanan yang benar, seseorang bisa menjaga hatinya antara selalu berharap kepada Allah dan selalu takut kepada Allah.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/antara-husnul-khatimah-dengan-suul-khatimah.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment