4/17/2012

Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama


Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama dan Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara Husnul Khatimah Dengan Su`ul Khatimah)

A. Orang Tua Sebab Sang Anak Berada di Suatu Agama

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah telah bersabda:

“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”

Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim dalam Kitabul Qadar (no. 2658).

Dari sekian nikmat Allah yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi anak yang baik lagi beragama.

Allah menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah Allah agungkan hak kedua orangtua atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua orangtuanya). Allah berfirman:

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)

Adakah harapan dan dambaan serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman, jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Demikian pula sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah:

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia berkata: ‘Wahai Rabbku, dari mana ini?’ Maka Allah berfirman: ‘Dengan sebab istighfar (permintaan ampun) anakmu untukmu’.” (HR. Ahmad)

Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan lafadz:

“Dengan sebab doa anakmu untukmu.” (Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)

Memang tidak semua anak yang lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)

Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di manakah dia berada?

Makna dan Faedah Hadits

Lafadz :

“Tidaklah setiap anak yang lahir”

Pada riwayat lain: “setiap yang dilahirkan (bayi)”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Yaitu dari bani Adam, seperti yang tersebut dalam riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah dari Al-A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :

“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Demikian pula Khalid Al-Wasithi meriwayatkan dengan lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abu Zinad dari Al-A’raj. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid.

Sekilas, riwayat ini mengandung kejanggalan, karena berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada yang menjadi Yahudi atau yang lain seperti tersebut dalam hadits. Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan itu tetap menjadi seorang muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan). Jawabnya adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan bawaan diri sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena adanya sebab dari luar. Jika seorang bayi selamat dari sebab luar yang mempengaruhinya, ia akan terus berada pada kebenaran (fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang benar dalam mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits, dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).

Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari jalan Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-’Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya Abdurrahman bin Ya’qub, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”

Lafadz :

“Dilahirkan dalam kedaan fitrah.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Yang nampak bahwa sifat ini umum pada seluruh anak yang dilahirkan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat sebelumnya (dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359), dari jalan Yunus bin Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz :

“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23) dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:

“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Ibnu Abdil Bar menghikayatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi keumuman (meliputi setiap bayi). Namun maksud dari hadits ini adalah, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan ia memiliki kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada agama selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits ini ialah: Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, sedangkan kedua orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah menjadikan anaknya Yahudi. Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi dengan apa yang sesuai padanya.

Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah:

“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Al-Fath, 3/303)

Lafadz :

“Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari jalan Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Menjadikannya seorang musyrik.”

Riwayat ini juga terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya Ath-Thahawi. Dalam kitab yang sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan riwayat dari jalan Suhail, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Menjadikannya seorang kafir.”

Ath-Thibi berkata: “(Huruf) fa` pada kalimat ini bisa sebagai at-ta’qib (mengikuti) sababiyyah (sebab) atau jaza` syarth muqaddar (jawaban dari kata kerja/fi’l syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila (setiap anak yang lahir) telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam), kemudian terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan (ajakan) orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya mengikuti agama orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu seperti hukum kedua orangtuanya.”
________________________

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini

Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits yang mulia berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya-lah yang akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Majusi atau Nasrani.” Dan hadits lain berbunyi: “Setiap jiwa yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah ia celaka ataukah bahagia.” Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa perbedaan antara kedua hadits ini?

Jawabannya:

Pertama, hadits yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya perubahan (buntung)?”

Makna hadits ini adalah bahwa setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam), namun perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk tetap senantiasa berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah Allah tetapkan keadaannya sebagai orang yang beruntung (Islam), Allah akan mempersiapkan baginya seorang yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan menjadilah anak itu siap untuk melakukan kebaikan. Barangsiapa yang Allah telantarkan dan tetapkan sebagai orang yang celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam mengubah anaknya (yang berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Kedua, dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah telah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan: -Al-Hadits-. Makna ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal itu merupakan ketetapan yang azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir hidup seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah yang telah mendahuluinya.

Ketiga, dengan menelaah makna hadits yang pertama dan kedua di atas serta memerhatikan pertanyaan yang diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Karena sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah yang baik. Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah. Allah akan mempersiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, jika keberadaanya sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah juga akan mendatangkan baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari jalan kebaikan, menemani dan mengajaknya pada jalan keburukan, dan selalu menyertainya hingga ditetapkan baginya akhir hidup yang buruk.

Telah banyak dalil yang menyebutkan adanya ketetapan Allah yang mendahului sebelum penciptaan manusia, baik kebahagiaan atau keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib, dari Nabi, beliau bersabda: “Tidaklah setiap jiwa yang ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang yang ditetapkan bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.” Kemudian beliau membaca firman Allah:

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).”

Hadits di atas menerangkan bahwa celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah. Dan hal itu ditentukan sesuai dengan amal perbuatan. Setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan amal perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan baginya, yang mana hal tersebut akan menjadi sebab dia bahagia atau celaka.

Wabillahi taufiq. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beserta sahabat beliau seluruhnya.
________________________

Walaupun setiap anak lahir akan berada pada fitrahnya, namun orangtua memiliki peran yang besar. Ibnul Qayyim berkata: “Sebagian ulama berkata: ‘Sesungguhnya Allah akan menanyakan tanggung jawab orangtua atas (pendidikan) anak, sebelum menanyakan kepada anak atas baktinya kepada orangtua. Karena, sebagaimana orangtua memiliki hak atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada orangtuanya), anak juga memiliki hak atas orangtuanya (berupa kewajiban yang harus ditunaikan oleh orangtua kepada anak). Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)

Oleh karena itu, orangtua hendaknya mencurahkan tenaga dan upaya untuk mendidik anak-anaknya. Hidayah (petunjuk) itu berada di tangan Allah. Manusia tidak akan mampu memberi hidayah kepada dirinya sendiri, terlebih lagi memberi hidayah kepada orang lain.

Inilah Nuh, salah seorang nabi Allah. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Beliau berharap sangat agar anaknya ikut bersamanya dan bukan bersama orang-orang kafir, sebagaimana Allah berfirman:

“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah saja yang Maha Penyayang.’ Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 42-43)

Seorang salaf yang bernama Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata: “Telah lahir anakku lalu aku beri nama Sa’d (kebahagiaan). Namun ia tidak bahagia dan tidak pula beruntung.” Beliau pernah berkata kepada anaknya: “Pergilah engkau (belajar) kepada Hisyam Ad-Dustuwa`i.” Anak itu menyahut: “Saya ingin melepas burung merpati.”

Demikian pula penuturan Isma’il bin Ibrahim bin Miqsam, seorang lelaki yang shalih. Di antara anak-anaknya ada yang bernama Ibrahim, namun ia menjadi seorang yang berpemikiran Jahmiyah (pengikut Jahm bin Shofwan, yang memiliki aqidah menolak nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya) dan berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah mahkluk.

Hidayah berada di tangan Allah. Namun seorang hamba harus menempuh sebab. Jika Allah menghendaki kebaikan kepadanya (anak), tentulah dia akan tunduk kepada nasihat. Namun jika Dia menghendaki lain, maka ia akan berada di atas kebatilan. Seorang penyair berkata:

“Jika perangai itu adalah perangai yang jelek
Maka tidak ada pendidikan maupun pendidik yang berguna”
(Sebagian dinukil dari Nashihati lin Nisa`, hal.75-76, cet. Darul Haramain)

Tiada permohonan yang pantas kecuali meniru apa yang telah diucapkan oleh orang-orang shalih kepada Rabb mereka dalam doanya, sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: ringkasan artikel dari www.asysyariah.com


B. Setiap Amalan Tergantung Penutupnya (Antara Husnul Khatimah Dengan Su`ul Khatimah)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau adalah seorang yang benar lagi dibenarkan:

“Bahwa penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal): Tentang rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia, kemudian Allah meniupkan ruh padanya. Sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya ia masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga dia memasukinya.” (HR. Al-Bukhari no. 3332)

Hadits ini dijelaskan oleh hadits berikut

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, padahal dia sebenarnya adalah penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, padahal dia sebenarnya adalah penghuni surga. Sungguh setiap amalan itu dihitung dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6012)

Dari Jabir radhiallahu anhuma dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap hamba dibangkitkan sesuai dengan kondisi saat ia meninggal.” (HR. Muslim no. 2878)

Penjelasan ringkas:

Hadits-hadits di atas di satu sisi merupakan kabar buruk dan di sisi lain merupakan kabar yang baik. Kabar buruk bagi siapa yang sudah terbiasa melakukan kejelekan dan kabar baik bagi siapa yang sudah terbiasa melakukan kebaikan. Karena sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan biasanya sulit untuk ditinggalkan dan akan selalu dia amalkan apapun yang terjadi. Karenanya, orang yang sudah terbiasa mengamalkan amalan jelek maka kemungkinan besar dia akan dihukum oleh Allah dengan su`ul khatimah atau meninggal di atas kejelekan, dan ini termasuk siksaan Allah yang terbesar di muka bumi ini. Sebaliknya, siapa saja yang sudah terbiasa melakukan suatu kebaikan maka besar kemungkinan dia juga akan mengakhiri hidupnya di atas kebaikan. Dan Allah Ta’ala akan membangkitkan setiap orang sesuai dengan keadaan ketika dia meninggal.

Inilah hukum asalnya. Adapun hadits Abdullah bin Mas’ud di atas, maka dia termasuk hadits-hadits dalam masalah takdir yang wajib diterima dan dibenarkan, walaupun akal tidak bisa mencernanya karena kurangnya ilmu dan akal manusia. Yang jelas kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia tidak akan memasukkan ke dalam neraka orang yang tidak pantas masuk neraka dan tidak akan memasukkan ke dalam surga orang yang tidak pantas masuk ke dalam surga. Dan Dia lebih mengetahui siapa di antara hamba-hambaNya yang bersyukur kepada-Nya. Ini jawaban secara global.

Adapun secara rinci, maka diterangkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad di atas, yaitu bahwa amalan baik yang diamalkan oleh penghuni neraka itu hanya lahiriahnya saja yang baik, akan tetapi hati orang tersebut bertentangan dengan amalannya, dimana kejelekan hatinya ini tidak diketahui oleh orang lain. Dan kejelekan hatinya inilah yang kemudian mendominasi dirinya, dan kejelekan hatinya ini muncul di akhir umurnya dengan dia melakukan kejelekan, sehingga dia akhirnya meninggal dengan su`ul khatimah. Sebaliknya, seorang penghuni surga terkadang melakukan banyak kejelekan akan tetapi sebenarnya di dalam hatinya ada suatu sifat kebaikan yang tidak diketahui oleh orang lain. Kemudian, sifat baik ini mendominasi dirinya dan baru muncul buahnya di akhir hidupnya dengan dia berbuat kebaikan. Sehingga dia akhirnya meninggal dengan husnul khatimah. (Iqazh Al-Himam Al-Muntaqa min Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam hal. 94)

Intinya seorang muslim wajib beriman kepada takdir dan tidak larut mempertanyakan atau memperbincangkan takdir. Karena takdir adalah rahasia Allah dimana tidak ada seorangpun makhluk yang mengetahuinya. Dan sudah dimaklumi bersama bahwa membicarakan sesuatu yang tidak diketahui adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak akan menghasilkan kebaikan apa-apa.

Pelajaran penting lainnya dari hadits-hadits di atas adalah bahwa seorang pelaku maksiat tidak boleh berputus asa dengan banyaknya dosa yang telah dia perbuat. Karena sebesar apapun dosanya, yang menjadi penentu nasibnya di akhirat adalah amalan yang dia amalkan di akhir hidupnya. Dan sebaliknya setiap pelaku kebaikan tidak boleh bangga dan tertipu dengan banyaknya pahala yang telah dia dapatkan. Karena nasibnya di akhirat tidak ditentukan oleh pahala yang sudah dia kumpulkan, akan tetapi ditentrukan oleh amalan yang dia kerjakan di akhir umurnya. Maka dengan beriman kepada takdir dengan keimanan yang benar, seseorang bisa menjaga hatinya antara selalu berharap kepada Allah dan selalu takut kepada Allah.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/antara-husnul-khatimah-dengan-suul-khatimah.html

GARIS PANDUAN SILAT MENURUT ISLAM




1. TUJUAN

1.1. Garis panduan ini disediakan untuk dijadikan panduan kepada umat Islam khususnya mereka yang terlibat dengan amalan seni mempertahankan diri tradisional (silat) supaya terhindar dari amalan yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam yang sebenar.

2. PENDAHULUAN

2.1. Islam amat menitikberatkan soal-soal akidah dan syariah. Segala amalan dan kepercayaan yang tidak berdasarkan kepada sumber-sumber asal Al-Quran, Hadis, Ijmak dan Qias adalah ditolak. Kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan tertentu dalam masyarakat Islam di Malaysia sedikit sebanyak ada hubungkaitnya dengan pengaruh fahaman Anamisme, Dinamisme, Hindu, Buddha dan Syiah (Ghulu) yang sebahagiannya telah menjadi darah daging kepada pengamal suci mempertahankan diri tradisional (silat). Oleh itu gari panduan ini perlu dijadikan asas dan panduan supaya dapat mengelakkan diri dari terjerumus ke dalam penyelewengan akidah dan syariat Islam. Allah berfirman dalam surah Yunus, ayat 106:

ولا تدع من دون الله ما لا ينفعك ولا يضرك فان فعلت فانك اذا من الظالمين
(سورة يونس : 106)

Bermaksud:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim”.

2.2. Dalam sejarah Islam memang wujud pahlawan-pahlawan yang terkemuka di kalangan para sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka telah berjuang menentang Musyrikin Quraisy dan penentang-penentang ajaran Islam dari kalangan Munafikin. Antara sahabat berkenaan ialah Saidina Ali, Khalid Ibnu Walid, Amru b. As-As, Abu Ubaidah b. Al-Jarrah, Saad b. Abi Waqas dan lain-lain lagi. Di dalam Al-Quran didapati banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahawa perlunya umat Islam mempersiapkan diri dan kelengkapan senjata serta kemudahan-kemudahan yang perlu untuk mempertahankan agama, diri dan negara. Antaranya ayat 61 surah Al-Anfaal:

وان جنحوا للسلم فاجنح لها وتوكل على الله انه هو السميع العليم
(الانفال : 61)

Bermaksud:
“Dan jika mereka (pihak musuh) cenderung kepada perdamaian, maka engkau juga hendaklah cenderung kepadanya serta bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui”.

2.3. Di dalam ilmu persilatan terdapat beberapa syarat yang perlu dipatuhi sama ada ketika hendak masuk silat, setelah masuk atau selepas tamat dan diijazahkan. Di antara syarat-syarat tersebut:

(a) menyediakan pengeras seperti pulut kuning, limau purut, kain putih, bayaran pengeras dan sebagainya.

(b) mandi dengan air mandian tertentu sebagai lambang membersihkan segala kekotoran zahir dan batin.

(c) tidak boleh meninggalkan sembahyang.

(d) Tidak boleh banyak bertanya ketika guru sedang mengajar atau mempersoalkan sebarang tindakan guru.

(e) Melakukan gerak silat membuka atau menutup gelanggang setiap kali memula atau menamatkan latihan silat.

2.4. Guru memainkan peranan penting di dalam menyampaikan sesuatu ilmu bagi menjamin kesahihan dan kesempurnaan ilmu tersebut. Di dalam ilmu persilatan, guru adalah lambang kesempurnaan.

2.5. Sesuatu seni mempertahankan diri tradisional (silat) itu perlulah didasarkan kepada garis panduan berikut bagi mengenalpasti ianya terhindar dari perkara-perkara yang bercanggah dengan syariat Islam:

(a) Asal Usul Silat
(b) Syarat-Syarat Silat
(c) Guru Silat
(d) Ikrar Sumpah dan Taat Setia
(e) Pantang Larang
(f) Adab
(g) Gerak Langkah
(h) Amalan Dalam Silat
(i) Pengijazahkan
(j) Matlamat Silat

3. GARIS PANDUAN SILAT DAN SENI MEMPERTAHANKAN DIRI

3.1. Asal-Usul Silat

3.1.1. Demi menjaga kesucian akidah Islam, beberapa perkara perlu diambil perhatian iaitu setiap individu atau kumpulan tidak boleh mendakwa bahawa:

(a) Silat mereka bersumber dari Nabi Muhammad s.a.w. para anbia atau diambil dari Al-Quran dan Hadis atau berasal dari amalan para sahabat Nabi s.a.w.

(b) Teknik atau pergerakan persilatannya berasal dari ibadat-ibadat tertentu seperti rukun-rukun sembahyang.

(c) Seni silat mereka bersumberkan mimpi bertemu Rasulullah s.a.w. atau para anbia yang lain atau para sahabat serta ulama.

3.2. Syarat-syarat Silat

3.2.1. Bagi mempastikan syarat-syarat di dalam ilmu persilatan tidak bercanggah dengan ajaran Islam maka:

(a) Semua perkara yang wajib dilakukan atau ditinggalkan oleh seorang Islam, yang mukallaf tidak boleh dijadikan syarat di dalam silat seperti sembahyang, puasa, jangan durhaka kepada ibubapa, sehingga mendatangkan anggapan bahawa perkara wajib tersebut menjadi wajib hanya apabila dijadikan syarat.

(b) Tidak boleh mengaitkan sesuatu pengeras dengan suatu akibat yang dipercayai boleh merosakkan pegangan akidah.

(c) Tidak boleh percaya kepada sial seperti mandi membuang sial atau mandi-mandi tertentu yang dikaitkan dengan persilatan.

(d) Tidak boleh melakukan gerak silat atau bacaan tertentu yang mengandungi unsur-unsur meminta izin atau bantuan dari kuasa-kuasa makhluk “ghaib” dalam acara “gerak membuka atau menutup gelanggang”, “’ayat kebal” atau “pukulan angin maut” atau sembelih ayam dalam gelanggang.

(e) Tidak boleh mentaati guru atau seseorang pada perkara-perkara yang jelas bercanggah dengan akidah dan syariat Islam.

(f) Sebarang syarat yang bertentangan dengan akidah, syariah dan akhlak Islam.

3.3. Guru Silat

3.3.1. Guru silat yang beragama Islam hendaklah bukan terdiri daripada:

(a) mereka yang melakukan perkara-perkara syirik, sama ada melalui perkataan, perbuatan atau iktikad.
(b) mereka yang melakukan maksiat/jenayah dan yang bertentangan dengan moral.
(c) pemecah belah masyarakat.
(d) Mereka yang mentafsir ajaran agama Islam mengikut hawa nafsu.

3.3.2. Jika seseorang guru silat hendak melibatkan diri dalam hal agama hendaklah mengetahui asas-asas agama Islam sama ada fardhu ain atau fardhu kifayah seperti rukun Islam, rukun Iman, cara mengerjakan sembahyang dan sebagainya.

3.3.3. Guru silat dilarang memasukkan atau menggunakan unsur-unsur yang bercanggah dengan Islam seperti sihir dan ilmu kebal di dalam ilmu persilatan.

3.4. Ikrar Sumpah Dan Taat Setia

3.4.1. Sumpah tidak dibolehkan sebaliknya hanya ikrar.

3.4.2. Murid-murid tidak boleh taat secara membuat tuli kepada guru. Mereka hendaklah mengikut perintah guru selama tidak bercanggah dengan perintah Allah.

3.4.3. Sumpah tidak boleh digunakan kepada perkara-perkara yang telah pun diwajibkan di dalam Islam seperti bersumpah akan taat kepada ibubapa, bersumpah akan taat kepada Allah dan Rasul dan sebagainya.

3.4.4. Bacaan-bacaan, amalan dan ikrar yang terdapat di dalam sumpah hendaklah mengandungi perkara-perkara yang tidak bercanggah dengan akidah dan syariat Islam seperti memuja dewa, atau nama berhala.

3.4.5. Di dalam upacara sumpah dan bai’ah sama ada dari segi fizikal atau mental hendaklah tidak mempunyai unsur-unsur yang mensyirikkan Allah dan menjatuhkan maruah seseorang sebagai umat Islam.

3.5. Pantang Larang

3.5.1. Suatu pantang larang hendaklah bukan daripada perkara-perkara yang jelas diwajibkan di dalam Islam seperti tidak meninggalkan sembahyang, jangan berkelahi sesama ahli dan sebagainya.

3.5.2. Suatu pantang larang tidak boleh dikaitkan dengan unsur-unsur pemujaan, meminta izin, perlindungan atau bantuan daripada makhluk-makhluk ghaib seperti larangan berludah kerana ditakuti tidak menjadi.

3.5.3. Tidak boleh memenuhi kehendak pantang larang sehingga melakukan perkara-perkara yang ditegah di dalam Islam seperti meninggalkan tanggungjawab sebagai suami atau isteri dan sebagainya.

3.5.4. Perkara-perkara yang harus dan halal tidak boleh dihukumkan haram.

3.6. Adab

3.6.1. Adab Murid Dengan Guru:

(a) Guru tidak boleh menganggap dirinya yang paling mulia dan tidak pernah bersalah.

(b) Guru hendaklah mengelakkan diri dari dianggap orang yang perlu ditaati secara mutlak.

(c) Guru tidak boleh menganggap orang lain lemah dan lekeh.

(d) Guru hendaklah melarang murid-muridnya memuja, mengagung dan taksub kepadanya.

3.6.2. Adab Sesama Murid Seperguruan:

(a) Seseorang murid tidak boleh memberikan hak secara khusus kepada murid seperguruannya sahaja, seperti memberi ucapan salam, tidak boleh bergaduh sesama ahli dan sebagainya.

(b) Seseorang murid tidak boleh menanam atau mengapi-apikan perasaan bangga diri dan taksub kepada kumpulannya sehingga memandang hina dan negatif kepada orang lain.

3.6.3. Adab Murid Dengan Orang Lain

(a) Seseorang murid tidak boleh mengutamakan guru silat dan murid-murid seperguruannya sehingga mengabaikan hak dan kewajipannya kepada ibubapa, suami, isteri, anak dan ahli keluarga.

(b) Seseorang murid tidak boleh memandang rendah dan hina terhadap orang bukan dari kalangan ahli silatnya.

(c) Seseorang murid yang beragama mesti menjalinkan ikatan persahabatan sama ada sesama ahli atau orang lain.

3.7. Gerak Langkah

(a) Gerak langkah silat tidak boleh dikaitkan dengan zat Allah dan sifat-sifat-Nya atau merupakan maksud di sebalik kalimah atau nama-nama Allah atau sifat-sifatNya.

(b) Gerak langkah silat tidak boleh diertikan sebagai maksud yang tersirat daripada ahli atau jasad Rasulullah s.a.w., para malaikat, nabi-nabi dan orang soleh.

(c) Gerak langkah silat tidak boleh dimaksudkan dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islam atau perlakuan-perlakuan ibadat yang tertentu seperti dua kalimah syahadah dan sembahyang.

3.8. Amalan Dalam Silat

(a) Tidak boleh memuja dan memperhambkan diri kepada sesuatu kuasa atau peribadi yang boleh mendatangkan nasib baik atau buruk kepada seseorang seperti hantu, dewa, keramat, kubur, keris, busut dan sebagainya.

(b) Tidak boleh menggunakan tangkal dan azimat yang mengandungi rajah-rajah atau tulisan-tulisan yang tidak difahami, objek-objek tertentu dan bercampur aduk dengan ayat Al-Quran.

(c) Tidak boleh mengamalkan bacaan-bacaan tertentu yang tidak difahami maknanya dikhuatiri mengandungi kata-kata pemujaan kepada berhala, iblis, syaitan atau nama berhala orang kafir serta bercampur aduk dengan ayat al-Quran.

(d) Tidak boleh meninggalkan ibadat-ibadat wajib yang dituntut di dalam Islam seperti sembahyang lima waktu dan puasa di bulan Ramadan ketika melakukan amalan silat.

3.9. Pengijazahan

(a) Tidak boleh melakukan isyarat sembah atau gerak tubuh yang melambangkan ketundukan yang menyamai atau melebihi ketundukan yang hanya layak kepada Allah sahaja seperti tidak sembah kepada guru.

(b) Tidak boleh melakukan upacara-upacara yang mengandungi unsur-unsur penyembahan, pemujaan, memohon bantuan atau memperhambakan diri kepada kuasa-kuasa atau tenaga-tenaga ghaib seperti mempersembahkan sedulang makanan, menyembelih ayam dan sebagainya.

 3.10. Matlamat Silat

(a) Matlamat silat hendaklah matlamat yang baik seperti untuk kesihatan tubuh badan, mendisiplinkan diri, hidup bermasyarakat, untuk mempertahankan diri dari bahaya dan sebagainya.

(b) Matlamat silat tidak boleh:

(i) Untuk membalas dendam, menuntut bela, membuat aniaya, menakut-nakutkan dan mengugut orang lain.

(ii) Untuk menanam sifat berani yang keterlaluan sehingga hilang hormat kepada ibubapa, guru, ahli keluarga dan lain-lain.

(iii) Untuk memupuk sentimen perkauman atau taksub golongan/kumpulan ekstrim agama yang melampau di kalangan ahli.

4. PENUTUP

Dengan mengikut garis panduan ini diharapkan para pengamal silat dan seni mempertahankan diri supaya dapat menghindarkan diri menyimpang daripada ajaran Islam yang benar, agar hidup sentiasa dirahmati Allah S.W.T.

JANGANLAH TURUTI HAWA NAFSU




Sebagai seorang manusia. Kita tidak akan pernah terlepas daripada melakukan maksiat. Tidak kisahlah sama ada kita ini pendakwah atau orang umum, ditarbiyah atau tidak, belajar agama atau tidak. Pasti kita tidak akan lepas daripada maksiat. Kerana apa?

Kerana memang kita diciptakan Allah dalam keadaan yang sebegitu.


زُيِ�`نَ لِلنَ�`اسِ حُبُ�` الشَ�`هَوَاتِ مِنَ النِ�`سَاءِ وَال�'بَنِينَ وَال�'قَنَاطِيرِ ال�'مُقَن�'طَرَةِ مِنَ الذَ�`هَبِ وَال�'فِضَ�`ةِ وَال�'خَي�'لِ ال�'مُسَوَ�`مَةِ وَال�'أَن�'عَامِ وَال�'حَر�'ثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ ال�'حَيَاةِ الدُ�`ن�'يَا ۖ وَاللَ�`هُ عِن�'دَهُ حُس�'نُ ال�'مَآبِ
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan ( الشَ�`هَوَاتِ ), berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, haiwan ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."
[QS Ali `Imran, 3:14]

Memang. Kalau dalam ayat tu, Allah SWT telah menghias (زُيِ�`نَ) manusia itu dengan  الشَ�`هَوَاتِ .. Tetapi, apakah itu alasan untuk kita kemudiannya halal bermaksiat kepada Allah?

Tanyakan pada diri? Apakah itu bermakna kita halal bermaksiat kepada Allah?

Nanti dulu.. Cuba kita baca kata-kata Allah di tempat lain di dalam al-Quran,


أَفَرَأَي�'تَ مَنِ اتَ�`خَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَ�`هُ اللَ�`هُ عَلَىٰ عِل�'مٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَم�'عِهِ وَقَل�'بِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن�' يَه�'دِيهِ مِن�' بَع�'دِ اللَ�`هِ ۚ أَفَلَا تَذَكَ�`رُونَ
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran."
[QS al-Jasiyah, 45:23]

Siapa tuhan di hati kita? Siapa  إِلَٰه  di hati kita? Benarkah Allah atau sebenarnya itu hanya kebohongan semata-mata. Kerana apa saya kata begitu? Cuba perhatikan diri kita.

RISAULAH DENGAN DOSA YANG MENGHIJAB

jangan sampai dosa kita menghijab hati kita dengan Allah!

Mundurnya umat Islam zaman ini adalah kerana terbelenggu dengan dosa dan maksiat. Dosa bukan lagi satu perkara luar biasa, tetapi menjadi kebiasaan dalam masyarakat hari ini.

Satu ketika dahulu, bilamana Abu Zar Al-Ghifari mengeluarkan kata-kata yang mengutuk Bilal bin Rabah dengan panggilan ‘budak hitam’, setelah ditegur oleh Rasul s.a.w., beliau cepat sekali terasa begitu bersalah sekali dengan apa yang dilakukannya sehingga beliau sendiri meminta Bilal memijak mukanya untuk membalas tindakannya itu kepada Bilal.

Bahkan, zaman itu, susah sekali untuk dijumpai orang yang berzina. Kalau ada yang berzina, mereka datang mengaku kepada Rasul s.a.w. Walaupun sebenarnya, tidak menjadi masalah kalau mereka tidak berjumpa dengan Rasul s.aw. dan bertaubat.

Tetapi, kerana iman yang ada pada diri mereka, menyebabkan mereka rasa diri mereka begitu berdosa sekali, sehingga meminta Rasul s.a.w. menghukum mereka.



KITA, DI MANAKAH HILANGNYA SENSITIF TERHADAP DOSA

Saidina Umar adalah antara para sahabat Nabi yang cukup berhati-hati dalam memelihara dirinya dan rakyatnya daripada dosa.

Suatu kisah yang sangat maaruf dalam kalangan kita, ketikamana Saidina Umar mengadakan lawatan secara senyap untuk melihat keadaan hidup rakyatnya pada waktu malam. Bila tiba di sebuah rumah, didapatinya ada seorang wanita sedang masak sambil anak-anaknya menangis teresak-esak menanti penuh kelaparan akibat sudah tidak makan beberapa hari.

Rupa-rupanya, suami kepada wanita itu adalah salah seorang tentera yang dihantar oleh Saidina Umar dalam sebuah peperangan. Saidina Umar berasa sangat berdosa kerana membiarkan keluarga itu  dalam keadaan begitu. Sehingga beliau sendiri yang mengangkat barang makanan dari gedung makanan untuk diberikan kepada wanita itu.

Tak cukup dengan itu, beliau meminta lagi daripada wanita itu agar tidak mendakwanya di akhirat atas kesilapannya itu.

Sensitifnya beliau dengan dosa. Bahkan ketika beliau menghantar satu batalion tentera Islam untuk berperang, beliau telah berpesan kepada panglimanya, iaitu Saad bin Abi Waqas :

“Aku memerintahkan kamu dan mereka yang bersama-sama dengan kamu supaya menjauhkan diri dari maksiat kerana sesungguhnya dosa-dosa yang dilakukan oleh tentera Islam lebih aku takuti daripada musuh-musuh Islam. Sesungguhnya orang Islam telah mendapat pertolongan Allah kerana maksiat yang dilakukan oleh musuh, jika bukan kerana hal itu, nescaya tidak ada kekuatan bagi bagi orang-orang Islam.”

Maka, dengan kerja kerasnya Umar dan para sahabat Nabi menjaga diri mereka daripada dosa, apa yang telah Allah anugerahkan untuk mereka di zaman itu?

Allah tundukkan dunia di tangan mereka.

Allah tundukkan dunia di tangan mereka.


KETIKA DUNIA MENGUASAI JIWA KITA

Berbeza pula dengan kita hari ini. Ketika dua kuasa besar ditundukkan di bawah pemerintahan Umar, kita pula hari ini terpaksa tunduk kepada jahiliah yang menjadi kuasa besar dunia.

Kita terpaksa tunduk dalam banyak aspek. Dalam gaya hidup, ramainya antara kita yang berkiblatkan Barat. Apa-apa sahaja ideologi baru yang diasaskan oleh Barat, cepat sahaja tersebar dan meresap ke dalam budaya hidup masyarakat Islam.

Ketika Barat menghalalkan cinta dengan berpegangan tangan, berpelukan sebelum kahwin, masyarakat kita pun melihat itu adalah suatu yang baik juga.

Ketika Barat merayakan Valentine sebagai hari kekasih sedunia, sebahagian umat Islam terkinja-kinja ikut merayakannya yang tanpa sedar telah mengundang dosa.

Kita lemah kerana dosa-dosa dan maksiat yang mengiringi kita.
Kalau suatu ketika dulu, Allah tundukkan dunia ini untuk generasi awal Islam, tetapi hari ini Allah membiarkan kita tunduk kepada dunia kerana jiwa kita telah dikuasainya.

Bagaimana mungkin kita mampu menguasai dunia, sedangkan kita pun sama sahaja dengan orang yang bukan Islam, tidak berhati-hati dalam menjaga diri daripada dosa.

Mereka bermaksiat dalam keadaan mereka yang tidak Islam, tetapi kita bermaksiat dalam keadaan kita telah menerima Islam. Manakah yang lebih teruk antara kita dengan mereka?

Sudah tentulah kita.

Sebab itulah, Allah menyekat dunia ini daripada berada di bawah genggaman kita kerana bilamana kita tidak berusaha menjaga diri daripada dosa, kita sebenarnya menjadi lebih teruk dari mereka.


PENUTUP : RISAU DAN TAKUTLAH DENGAN DOSA

Tentera-tentera pemanah dalam Perang Uhud yang mengingkari perintah Rasul s.a.w. dengan turun dari bukit Uhud itupun telah mengakibatkan Allah menguji mereka dengan sedikit kekalahan dalam perang itu, bagaimanakah kita yang lebih besar dosa dan maksiat kita kepada Allah?

Telitinya para sahabat Nabi s.a.w. dalam menjaga diri mereka daripada dosa, tetapi longgarnya kita di zaman sekarang dalam memandang dosa.

Memang tidak dinafikan kita semua tidak akan terlepas dari dosa. Tetapi, bukan mudah-mudah begitu sahaja untuk kita terjatuh dalam dosa. Sebab itu Allah kurniakan akal dan hati kepada kita supaya kita berfikir dan menilai baik buruk sesuatu perkara sebelum melakukannya.

Teliti dan rasa Allah sentiasa ada memerhatikan kita. Itu yang perlu dalam diri.

Bila kita ringan-ringan dengan dosa, maka Allah nanti akan ringan-ringankan jalan kita ke neraka. Tetapi bila kita teliti menjaga diri daripada dosa, maka pastinya Allah akan mudahkan jalan menuju syurga.

Risau dan takutlah dengan dosa.

Kerana dosalah, kaum Ad dan Tsamud dibinasakan.
Kerana dosa jugalah, Allah menghukum bani Israel menjadi kera.
Kerana dosa jugalah, Allah menghilangkan rasa gerun dari musuh kita terhadap kita.

Bangunlah dari kehinaan dan bersihkan diri dari kotoran dosa !

ISTIMEWA INSAN YANG BERNAMA LELAKI & PEREMPUAN



Kecantikan Lelaki

Kecantikan seorang lelaki bukan kepada rupa fizikal tetapi pada murni rohani. Lelaki yang cantik,adalah:-

1) Lelaki yang mampu mengalirkan airmata untuk ingatan
2) Lelaki yang sedia menerima segala teguran
3) Lelaki yang memberi madu,setelah menerima racun
4) Lelaki yang tenang dan lapang dada
5) Lelaki yang baik sangka
6) Lelaki yang tak pernah putus asa Kecantikan lelaki berdiri di atas kemuliaan hati.
Seluruh kecantikan yang ada pada Nabi Muhammad adalah kecantikan yang sempurna seorang lelaki.

Kegagahan Wanita

Kegagahan seorang wanita bukan kepada pejal otot badan,tetapi pada kekuatan perasaan. Perempuan yang gagah,adalah:-

1) Perempuan yang tahan menerima sebuah kehilangan
2) Perempuan yang tidak takut pada kemiskinan
3) Perempuan yang tabah menanggung kerinduan setelah ditinggalkan
4) Perempuan yang tidak meminta-minta agar di penuhi segala keinginan.

Kegagahan perempuan berdiri di atas teguh iman.
Seluruh kegagahan yang ada pada Khadijah adalah kegagahan sempurna bagi seorang perempuan.

Sabda Rasulullah SAW: "Sebarkanlah ajaranku walau satu ayat pun"

Surah Al-Ahzab:Ayat 71
"Supaya Ia memberi taufiq dengan menjayakan amal-amal kamu, dan mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah) sesiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah berjaya mencapai sebesar-besar kejayaan."

MENGUMPAT!


Rasulullah s.a.w
” Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencerca, bukan yang suka menjolok jolok, bukan yang suka berbuat keji, dan bukan juga orang yang suka bercakap keji.” Hadis Riwayat Muslim

Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Awaslah daripada mengumpat kerana mengumpat itu lebih berdosa daripada zina. Sesungguhnya orang melakukan zina, apabila dia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.

Dan sesungguhnya orang yang melakukan umpat tidak akan diampunkan dosanya sebelum diampun oleh orang yang diumpat” (Hadis riwayat Ibnu Abib Dunya dan Ibnu Hibbad)


Diriwayatkan oleh Abu Ummah al-Bahili, diakhirat seorang terkejut besar apabila melihat catatan amalan kebaikan yang tidak pernah dilakukannya didunia. Maka, dia berkata kepada Allah “Wahai Tuhan ku, dari manakah datangnya kebaikan yang banyak ini, sedangkan aku tidak pernah melakukannya”.
Maka Allah menjawab :”Semua itu kebaikan (pahala) orang yang mengumpat engkau tanpa engkau ketahui”.

MENGHIKMAHKAN BAHASA LIDAH



Cakap dengan buat adalah dua perkara berbeza.

“Mad jangan merokok. Ayah nampak Mad merokok je, siaplah Mad.”

Pada hari yang lain pula, “Ayah, hari tu ayah tak bagi Mad merokok. Kenapa ayah pula yang merokok?”

“Ah, kau diamla. Kau tu budak lagi. Apa kau tahu? Aku orang tua. Lain.”

Nampaknya si ayah memiliki dua karakter berbeza dalam diri.
Bahasa ‘lidah’ dan bahasa ‘badan’ yang tidak senada.

Si anak sudah mula keliru dalam menentukan nilai.

‘Baik ke buruk sebenarnya rokok ni?’ Dan ia akan lebih cenderung kepada bahasa badan biasanya, kerana itu lebih dekat dan jelas di matanya berbanding bahasa lidah yang mudah sekali dilupakan.



HIKMAH BAHASA LIDAH ADA PADA BAHASA BADAN

Manusia lebih mudah mencontohi apa yang ada di depan matanya. Nampak secara ‘live’, bukan yang dibuat-buat mahupun yang hanya setakat kencang dan lebat di mulut sahaja.

Sebab itu, dalam menghikmahkan bahasa lidah, maka bahasa badan sangatlah memainkan peranan penting.

Kalau bahasa lidah biasanya one-way process, tetapi bahasa badan pula banyak memberi impak pada two-way process di mana orang yang melihat apa yang kita buat, akan terpengaruh dengan tindakan kita itu.

Two-way process ini telah lama ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. Baginda tidak banyak menuturkan kata melainkan apa yang dituturkan itu ada hikmahnya.

Kenapa tutur kata Nabi dikumpulkan sehingga dibukukan oleh Imam Bukhari dan imam-imam muhaddis lain? Hebat sangatkah tutur kata Nabi itu sehingga dikumpulkan dengan sebegitu sekali?

Oh, sudah tentulah. Kerana pada bahasa lidah Nabi itu, telah terserap hikmah bahasa badannya.
Ia tidak membuktikan amal dengan katanya. Tetapi ia membuktikan katanya dengan amalnya.


KISAH SEORANG TUK GURU DAN KULIAH ‘SABAR’

Ada sebuah kisah yang seringkali dikongsikan oleh guru saya.

Kisah seorang tuk guru lepasan Pondok di Kelantan dengan pengajiannya yang bertajuk ‘Sabar’.

Al-kisah maka berlangsunglah pengajian tuk guru itu dengan anak-anak muridnya.

“Sabo itu bla bla bla…. Kita mesti ada sabo…. Sabo ni terbahagi kepada sekian sekian…buke sene nak sabo…. Sabar itu bla bla bla, sabar ini bla bla bla…” sehinggalah tamat kuliah sabarnya.

Ketika turun dari surau untuk pulang ke rumah, tuk guru itu pun mencari seliparnya.
Dicari, cari, tidak jumpa jumpa juga. Akhirnya, …

“Nate mano ambil selipor ambo ni.”
“Sabar, tuk guru, sabar. Tuk guru baru je ajar tajuk ‘Sabar’ tadi kan.”
“Tulah aku kata, buke sene nak sabo ni !”

Situ juga yang diambil tuk guru itu. Dari banyak-banyak bahasa lidah yang dituturkannya dalam kuliahnya, di situ juga yang dipilihnya untuk di’senada’kan dengan bahasa badannya.

Rosaklah hikmah bahasa lidah disebabkan bahasa badan.


PERIBADI KITA, MENENTUKAN SIAPA DIRI KITA

Orang tidak tentukan peribadi kita berdasarkan percakapan kita semata-mata.

Kita boleh memperdaya manusia dengan tutur kata kita, tetapi tidak sekali-kali peribadi kita.
Apa yang terzahir dari diri kita, itulah sebenarnya peribadi kita.

Kalau kita ni jenis pengotor, pengotor jugalah cara menguruskan diri itu.
Kalau kita ni jenis orang yang berdisiplin dan berjadual, apa-apa yang kita buatpun mesti nak kena strict dengan jadual.

Kalau kita ni jenis orang tak peduli, apa-apa hal yang berlaku pada masyarakat sekitar kita pun, kita buat endah tak endah saja.

Kerana itulah bahasa badan kita.
Ada orang boleh cakap dan syarah panjang lebarnya tentang apakah itu Islam, kenapa perlu kepada Islam, tetapi dalam peribadinya jauh sekali dari apa yang dituturkannya itu.

Ada orang biasa-biasa saja kita lihat dirinya. Tak adalah pandai cakap sangat pun. Tetapi, amalnya jauh lebih benar dari orang yang pandai bercakap itu.


KENAPA KAMU CAKAP APA YANG KAMU TIDAK BUAT?

Kita selalu baca surah as-Soff ayat 2 yang bermaksud :

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu bercakap apa yang kamu tidak lakukan?”

Dan Allah sambung lagi dalam ayat yang ke-3 dengan amaran tentang murka-Nya :

“Amat besar kebencian di sisi Allah, kamu memperkatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan.”

 Maka, tidak padanlah kalau hikmah hanya ketika bertutur kata, tetapi tidak hikmah melenggokkan kata dalam amal kita.

Bukan mengundang murka Allah yang seketika, tetapi kekal berzaman menanggung seksa di neraka.

Tidak ada salahnya untuk kita bercakap, tambah-tambah yang berkaitan dengan hal kebenaran dan hidayah Allah. Bahkan, sangat digalakkan. Biar bertambah hari, bertambah ramai yang tertarik hatinya untuk mendalami Islam ini.

Dalam satu hadis Nabi s.a.w. yang mafhumnya :

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah bercakap perkara yang baik atau diam saja.” [HR Bukhari Muslim]

Tetapi, ia tidak cukup berhenti setakat membiaskan kata pada tutur kata saja.
Biarlah terbias juga kata itu pada peribadi kita.

Biar orang melihat Islam itu dari sudut pandang yang ‘live’.


PENUTUP : RASULULLAH ADALAH MISAL AMALI (CONTOH LIVE)

Dalam hal ini, Rasulullah s.a.w. adalah contoh yang terbaik.

Pada menghikmahkan bahasa lidahnya, Rasul s.a.w. telah membuktikannya pada peribadi mulianya yang disanjung oleh kawan mahupun lawan.

Kita, di manakah?

Bahasa lidah bergerak lebih laju dari bahasa badan atau bagaimana?

Banyak bercakap, sedikit amal kebaikannya, tidak akan membuahkan apa-apa kesan baik kepada diri kita mahupun orang di sekeliling kita.

Banyak bercakap, hodoh pula peribadinya, pun hanya akan menambah rosak imej Islam.

Perbaikilah peribadi biar selari dengan apa kita tuturkan.
Pada bahasa badan, hikmahkanlah bahasa lidah !

BEKALLAH ANAKMU DENGAN ILMU


Kenapa remaja hari ini lebih sukakan dendangan muzik dan lagu-lagu dari alunan al-Quran?
Mereka boleh bertahan berjam-jam mendengar muzik dengan earphone tersumbat ditelinga.
Terhenjut-henjut tangan, juga kaki.
Berapa lama mereka boleh tahan jika mendengar alunan al-Quran?
"Ustaz, bukan remaja belia saja minat lagu, 'remaja tua' pun sama. Mana nak dengar sangat al-Quran dalam kereta. Yang mereka pasang radio atau CD lagu-lagu," kata kawan saya, bila borak pasal muzik.
"Memang la Sham, kalau kita tak biasakan dengar Quran, macam mana nak timbul rasa seronok. Memang la susah. Tambah pula kalau dari kecik lagi seronok dengan lagu. Kena pulak ibu bapa tak minat Quran," saya menambah
"Aha, tengok la ni, ada pulak program realiti (hakikatnya: 'fantasi') TV untuk budak sekolah. Tergedik-gedik menyanyi. Mak bapak sokong pulak tu..." ulasnya lagi.
"Betul tu. Berhibur memang tak salah, tapi bila melampau sangat, hilang haluan. Sebenarnya dari dalam perut lagi kita kena tarbiyah anak jadi soleh," balas saya.
Allah jadikan telinga punya tujuan. Lantas, ibu bapa perlulah didik anak agar menggunakan telinga untuk tujuan yang betul.

Sejak dari awal lagi ibu bapa berlu membuat persediaan untuk mendidik anak menggunakan teliga dan segala pancaindera dengan betul.
Suatu yang pasti, pasangan ibu bapa perlu membuat persediaan awal sebelum menyambut kelahiran anak.
Persediaan yang penting bukan sahaja dari sudut kewangan dan kesihatan, bahkan juga dari sudut kerohanian dan pendidikan.

Keinsafan ibu dan bapa tentang besarnya tanggungjawab sebagai pendidik dan ketua perlu ditanam agar anak yang lahir nanti menerima layanan dan asuhan yang sepatutnya.
Antara persediaan awal termasuklah mendedahkan kepada janin dengan alunan yang murni di samping bersedia memilih nama yang sesuai untuk anak itu.

Seseorang anak sudah perlu dididik ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
Walau pun anak itu belum mampu berkata-kata atau melihat, namun dia dipercayai sudah boleh mendengar, merasai dan menerima gelombang perasaan dari ibunya atau orang-orang yang berhampiran.
Oleh yang demikian, ibu dan bapa digalakkan banyak menenangkan perasaan dengan membaca al-Quran, berzikir dan bertafakur.
Ayat-ayat suci yang dibacakan itu dapat mendamaikan hati ibu seterusnya membantu perkembangan jiwa murni anak.

Suara bacaan al-Quran juga mampu mendatangkan barakah dan rahmah dalam pembentukan anak.
Bahkan ada juga yang berpendapat pengaruh pengajaran yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran yang dialunkan itu mampu menyelinap masuk ke dalam sanubari janin, lantas membentuh potensi peribadi soleh sebagaimana terkandung dalam pengajaran ayat itu.
Sebab itulah, terdapat gesaan agar anak dalam kandungan tadi diperdengarkan bacaan Surah Luqman yang mengandungi pengajaran-pengajaran ke arah menjadi anak soleh, di samping surah-surah lain seperti Surah Al-Fatihah, Surah Al-Insyirah, Surah Al-Alaq, Surah Maryam dan Surah Yusuf.
Si ibu juga dianjurkan agar bertaubat dan membersihkan jiwa serta mengelakkan dari terjebak dalam maksiat dan lagha sepanjang mengandung.
Perasaan ibu perlulah damai. Jika tertekan, bayi boleh menjadi lemah.
Wujudkan suasana girang, gembira dan syukur. Elakkan kemuraman, pertengkaran dan kalimah-kalimah yang kotor.

Oleh itu peranan bapa selaku lelaki yang paling hampir dengan ibu amatlah penting.
Bahkan bapa disarankan juga perlu bergilir-gilir membaca al-Quran dan berzikir bagi menceriakan halwa telinga anak yang di dalam kandungan.
Harap kita semua boleh laksanakan, agar nanti kita dapat anak-anak yang soleh dan solehah - bukan anak-anak yang derhaka pada kita.

***p/s : Inginkan anak y soleh n solehah tp tidak menghalwakan "dia" dengan aluanan suci ayat-ayat Al-Quran...tidak mendidik "dia" bukan shj dr kecil bahkan sejak dalam kandungan lg...jgn salahkan "dia" pabila sudah besar tidak seperti y kita harapkan....wasalam...(ingatan buat diri sendiri y lupa dan alpha....)